Menurut G.J. Nieuwenhuis bahwa “Suatu bangsa
tidak akan maju , sebelum ada diantara bangsa itu segolongan guru yang
berkorban untuk keperluan bangsa.” Oleh Karena itu maka saya menulis sebuat
artikel yang khusus menyinggung persoalan guru dalam konteks pendidikan
karakter. Saya melihat bahwa sesungguhnya guru dapat memainkan peran yang
sangat strategis dalam usaha mulia membangun karakter yang sedang digagas oleh
pemerintah yaitu Indonesia Emas 2045.
Memperbaiki
bangsa tanpa memberikan perhatian besar kepad persoalan guru adalah sesuatu
yang pelik. Bagaimana pun , guru adalah ujung tombak pendidikan . Sementara
pendidikan adalah satu – satunya jalan yang dapat mengantarkan manusia menuju
puncak peradaban. Ketika guru tidak menjalankan perannya dengan baik, maka
proses pendidikan tidak berjalan dengan efektif, dengan demikian tujuan pendidikan pun tidak
akan tercapai. Ketika pendidikan gagal mencapai tujuannya , dengan sendirinya
manusia juga gagal menjadi lebih baik. Sebab tujuan pendidikan adalah membentuk
manusia yang baik dalam seluruh aspeknya.
Murid adalah
generasi masa depan bangsa, mereka yang menentukan nasib suatu bangsa .
Malangnya mereka kerap kali mengalami nasib buruk. Di banyak rumah , para tokoh
kehidupan masa depan itu sering kali diperlakukan dengan kasar, hak-haknya
diabaikan, pendapatnya diremehkan, dan hampir dibuat tidak berdaya oleh dua
raksasa bernama ayah dan ibu.
Tragisnya lagi ,
nasib mereka di sekolah kadang tidak lebih baik, bahkan mungkin lebih buruk
daripada di rumah. Mereka di sekap seharian di dalam ruangan persegi empat
bernama kelas, dipaksa duduk manis di belakang meja yang memenjarakan, menatap
kosong pada seonggok kertas berjilid bernama buku pelajaran yang berisi
sekumpulan tulisan membosankan dan harus mendengarkan dengan bosan celoteh dari
mulut berbusa yang seolah tahu segalanya. Kalau dirumah mereka berhadapan
dengan dua raksasa pemarah , di dalam ruang persegi empat itu nasib mereka bisa
lebih mengerikan lagi. Di ruang persegi empat tersebut kadang – kadang mereka
harus berhadapan dengan monster yang mengerikan yaitu GURU.
Anak polos itu
tak pernah mengerti, monster kadang lebih pemarah daripada kedua raksasanya di
rumah. Mereka tidak pernah sempat bertanya , apakah kemarahan itu sesunggunya
merupakan setumpukan masalah yang di bawa dari rumahnya atau karena tidak cinta
di dalam hatinya, ataukah jangan-jangan
monster itu memang tidak punya hati karena tidak mengenal kata ampun.
Begitu kelas mulai ribut, hantaman penggaris di papan tulis mulai
terdengar menggelegar. Bahkan kadang –
kadang penggaris kecil tanpa ampun dipunggung hingga meninggalkan luka . Selain
pemarah monster itu juga sangat angkuh
dan sombong, menganggap dirinya sangat paling tahu. Mereka menganggap murida
itu adalah hanyalah gelas kosong yang selalu diisi dengan air pengetahuan.
Dengan demikian diantara anak didik berpendapat bukan pujian mereka terima
melainkan umpatan
Perlu diketahui
tidak semua guru adalah monster yang pemarah, angkuh kejam dan tak berhati.
Selalu ada guru yang menjalankan perannya yang teramat mulia sebagai penggilan jiwa untuk mengisi hidup
dengan kebaikan dan kebermanfaatan . Mereka mendidik dengan cinta dan kasih
sayang, sehingga kelak terlahir manusia – manusia yang hatinya di penuhi oleh
cinta dan jiwanya merindukan kebahagian hidup tidak saja bagi dirinya,
melainkan juga bagi sesamanya
Yang Tak kalah
mengejutkan , tingkat kehadiran kehadiran guru tidak seberapa. Artinya penyakit
mental mulai di tularkan ke guru lain secara tidak langsung. Jadi saya berpikir
murid yang ada di kelas kepergok
membolos bukan karena malas belajar tetapi karena tidak ada yang mengajar di
kelas. Hal ini sangat mungkin kalau kita lihat di tiap kelas masih sangat
minim, sehingga ketika seorang guru mangkir mengajar , aktivitas belajar siswa
pun terganggu.
Kasus lain yang
sering kita temukan adalah minat membaca seorang guru sangat minim atau masih
dalam kategori rendah . Ini bisa dilihat dari beberapa indikator diantaranya :
1.
sebagian
besar guru hanya membaca buku paket yang menjadi pegangan mengajar
2.
sebagian
besar guru tidak memiliki koleksi bahan bacaan secara mandiri
3.
sebagian
besar guru mengakses bahan bacaan dari internet namun bukan untuk menambah
wawasan bahan ajar.
4.
sebagian
besar guru kurang tertarik berkunjung kepameran buku atau ke toko buku
5.
sebagian
besar guru kurang menganggap penting memiliki buku untuk memperkaya
wawasan pembelajaran
6.
sebagian
guru tidak membuka buku sumber saat membuat persiapan buku mengajar.
Tanpa bermaksud meremehkan guru, saya
memberikan kesimpulan bahwa minat guru sangat minim. Fenomena rendahnya minat
baca guru – giuru bukan karena faktor kemalasan saja tetapi karena sudah
terjangkit virus sibuk urusan pribadi, hilangnya keteladanan dalam kerja
keras, kepercayaan diri dan kejujuran,
Hingga detik ini
, saya masih menganggap bahwa guru adalah sosok yang mulia. Maka bagi saya guru
yang ideal para nabi, yang dengan penuh ketulusan dan cinta mengabdikan
hidupnya untuk memperpaiki harkat hidup kaumnya. Para Nabi mengajar ajaran
mulia dengan hatinya, sehingga semua ucapan yang keluar dari mulutnya mampu
menghujam kedalam relung – relung jiwa
Karena alasan
yang sama pula ,saya tidak bisa menghindari obrolan tentang sisi – sisi negatif
guru yang sempat tertangkap oleh penglihatan lahir batin saya. Dan saya
mengungkapkan disini sama sekali bukan dengan maksud melukai hati dan
perasaan mereka yang kebetulan
tersinggung oleh tulisan saya, melainkan karena besarnya harapan saya kepada
mereka sebagai ujung tombak pendidikan. Saya berharap apa yang saya samapaikan disini dapat
menggugah dan menginspirasi para guru untuk terus berjuang menciptkan perubahan
yang positif.